Jumat, 14 Oktober 2011



BAB I

A. PENDAHULUAN
Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 – 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun, dan lebih didominasi oleh kaum laki – laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak).
Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan kalsifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang maksimal.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan biomekanisme-patofisiologi terperinci dari masing – masing proses di atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik. Beban statik timbul perlahan – lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme ruda paksa yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari 200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “ frekuensi hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar meninggal “.

B. TUJUAN PENULISAN
Pembuatan refran ini bertujuan  untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, anatomi, aplikasi klinis, klasifikasi, etiologi, fatofisiologi perdarahan intrakranial, serta memahami penanganan anastesi untuk pasien dengan cedera otak intrakranial.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    DEFINISI
Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Anestetist mengelola pasien ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat darurat sampai ke tempat pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neuroICU.
Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan sirkulasi.
Cedera kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi ini berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera primer adalah kerusakan yang ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres aselerasi-deselerasi pada tulang kepala dan jaringan otak, mengakibatkan patah tulang kepala (tulang kepala atau basis kranii) dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe yaitu cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua kategori yaitu brain concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir < 6 jam) dan Diffus axonal injury /DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Fokal injury ada beberapa macam antara lain brain contusion, epidural hematom, subdural hematom, intracerebral hematom. Cedera sekunder berkembang dalam menit, jam atau hari sejak cedera pertama dan menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab paling umum dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi serebral. Cedera sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut : 1) disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler ( hipotensi, curah jantung rendah), 3) peningkatan tekanan intrakranial, dan 4) kekacauan biokimia.


B. ANATOMI
B.1 Meninges dan Vasa Darah Otak
1.   Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.
a.   Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus ) duramatris.
Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv. Emissari. Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan. Sinus duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.
Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus, sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus rectus, kemudian mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan sinus tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus superior dan inferior menerima darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing – masing ke sinus traaanversus dan v. jugularis interna.
b.   Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba – laba.
Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.
Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.
c.   Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.
B.2. Vasa Darah Otak
a.   Arteri
Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a. vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina, a. cerebralis anterior mempercabangkan a. communicans anterior, sedangkan a. cerebralis medialis mempercabangkan a. communican posterior.
Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a. basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina (mengikuti n. V dan n. VIII ), a. cerebellaris superior ( setinggi n. III dan n. IV ) dan a. cerebralis posterior yang merupakan cabang terminal a. basilaris.
Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh a. cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis posterior, a. comunican posterior dan a.communican anterior. Sistem ini memungkinkan suplai darah ke otak yang adekuat terutama jika terjadi oklusi / sumbatan.
b.   Vena
Vena diotak diklasifikasikan sebagai berikut :
-     Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis / medialis / inferior dan vv. Basallles.
-     Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.
-     Vv. Cerebellaris
-     Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan vena superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika terjadi kenaiakan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran infeksi ke dalam cavum cranii.
Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya mengikuti kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii. Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis dan vv. Profunda di dalam otak.

C. MENIFESTASI KLINIS
Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan.

D. KLAFISIKASI PERDAAHAN INTRAKRANIAN
D.1 EPIDURAL HEMATOMA
D.1.a. Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.

D.1.b Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
-          Trauma kepala
-          Sobekan a/v meningea mediana
-          Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
-          Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.


D.1.c. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

III.1.d. Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.

III.1.e. Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1.   Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.



2.   Hemiparesis
      Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
3.   Anisokor pupil
      Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

D.1.f. Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

D.1.g. Komplikasi Dan Outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
-          Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial
-          Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
-          Mortalitas 20% -30%
-          Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
-          Sembuh tanpa defisit neurologik
-          Hidup dalam kondisi status vegetatif

D.2 SUBDURAL HEMATOMA
D.2. a Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1.   Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
2.   Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid'


D. 2. b Etiologi
1.      Trauma kepala.
2.      Malformasi arteriovenosa.
3.      Diskrasia darah.
4.      Terapi antikoagulan

D.2.c. Klasifikasi
1.   Perdarahan akut
      Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2.   Perdarahan sub akut
      Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3.   Perdarahan kronik
      Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens

D. 2.d. Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

D. 2.e. Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

D.2.f. Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).

D.2.g. Komplikasi Dan Outcome
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1.   Hemiparese/hemiplegia.
2.   Disfasia/afasia
3.   Epilepsi.
4.   Hidrosepalus.
5.   Subdural empiema
Sedangakan outcome untuk subdural hematom adalah :
1.   Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2.   Pada sub dural hematom kronis :
-     Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
-     Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

D.3 INTRASEREBRAL HEMATOM
D.3.a. Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).

D.3.b. Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah

D.3.c. Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.


III.3.d. Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
D.3.e. Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak  diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial nyeri kepala mendadak  penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
-          Hemiparesis / hemiplegi.
-          Hemisensorik.
-          Hemi anopsia homonim
-          Parese nervus III.
Kriteria diagnosis hematom serebeller ;
-          Nyeri kepala akut.
-          Penurunan kesadaran.
-          Ataksia
-          Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
-          Penurunan kesadaran koma.
-          Tetraparesa
-          Respirasi irreguler
-          Pupil pint point
-          Pireksia
-          Gerakan mata diskonjugat.



D.3.f. Terapi umum
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Konservatif
-          Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
-          Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
-          Bila perdarahan pons batang otak.

Pembedahan
Kraniotomi
-          Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
-      Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa


E. PENANGANAN
Persiapan anastesi
1. Pemeriksaan prabedah
Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI dll. CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema (adanya daerah hipodensitas).
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT scan normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40 tahun, posturing, tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain dapat membaca tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial dengan cara drainase cairan serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300, mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal resusitasi cairan dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi dan obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk menurunkan tekanan intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam manuver first-tier dan second-tier terapi.
First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari 10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain tidak diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia selama terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan dibawah 320 mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40 mmHg juga menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi aliran darah otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan singkat untuk mengobati gangguan neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter terhadap drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis tinggi barbiturat dan, 3) craniektomi decompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila digunakan aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen saturation (SJO2) atau cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan aliran darah otak pada metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera kepala yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau moderate disability.
Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai konsekwensi adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan volume darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus dikurangi secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer (merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi. Agitasi, confus sering terdapat pada pasien cedera kepala dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu, penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.

2. Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang cepat. Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial.
Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya multiple trauma.
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien yang respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital mempunyai efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala, iskemia merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled Trial yang menunjukkan secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera otak traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk bila tekanan darah turun.

3. Pascabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila masih tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi netral-head up, jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi adekuat, normotensi, normovolemia, isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-360C). Berikan fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam pascabedah.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Olah Saga Citra; 2008.
2.      Bisri T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJO2) dan Cerebral Extraction of Oxygen (CEO2) sebagai indikator utama proteksi otak pada teknik anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi. Universitas Padjadjaran 2002.
3.      Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007:91-110.
Sumber 

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Komentar anda

About Me