Minggu, 22 Januari 2012

Ileus


Istilah gawat abdomen atau gawat perut menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun saluran cerna. Infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan dokter. Di Indonesia ileus obstruksi paling sering disebabkan oleh hernia inkarserata, sedangkan ileus paralitik sering disebabkan oleh peritonitis. Keduanya membutuhkan tindakan operatif. 1
Ileus lebih sering terjadi pada obstruksi usus halus daripada usus besar. Keduanya memiliki cara penanganan yang agak berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Obstruksi usus halus yang dibiarkan dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi usus dan memicu iskemia, nekrosis, perforasi dan kematian, sehingga penanganan obstruksi usus halus lebih ditujukan pada dekompresi dan menghilangkan penyebab untuk mencegah kematian. 2
Obstruksi kolon sering disebabkan oleh neoplasma atau kelainan anatomic seperti volvulus, hernia inkarserata, striktur atau obstipasi. Penanganan obstruksi kolon lebih kompleks karena masalahnya tidak bisa hilang dengan sekali operasi saja. Terkadang cukup sulit untuk menentukan jenis operasi kolon karena diperlukan diagnosis yang tepat tentang penyebab dan letak anatominya. Pada kasus keganasan kolon, penanganan pasien tidak hanya berhenti setelah operasi kolostomi, tetapi membutuhkan radiasi dan sitostatika lebih lanjut. Hal ini yang menyebabkan manajemen obstruksi kolon begitu rumit dan kompleks daripada obstruksi usus halus. 3
Mengingat penanganan ileus dibedakan menjadi operatif dan konservatif, maka hal ini sangat berpengaruh pada mortalitas ileus. Operasi juga sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang sesuai, skills, dan kemampuan ekonomi pasien. Hal-hal yang dapat berpengaruh pada faktor-faktor tersebut juga akan mempengaruhi pola manajemen pasien ileus yang akhirnya berpengaruh pada mortalitas ileus. Faktor-faktor tersebut juga berpengaruh dengan sangat berbeda dari satu daerah terhadap daerah lainnya sehingga menarik untuk diteliti mortalitas ileus pada pasien yang mengalami operasi dengan pasien yang ditangani secara konservatif.
A. Definisi
1. Ileus adalah hilangnya pasase isi usus.
2. Ileus Obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik. 4
3. Ileus Paralitik adalah hilangnya peristaltic usus sementara. 5
B. Klasifikasi
1. Ileus Mekanik 2
1.1 Lokasi Obstruksi
1.1.1 Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
1.1.2 Letak Tengah : Ileum Terminal
1.1.3 Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum
1.2 Stadium
1.2.1 Parsial : menyumbat lumen sebagian
1.2.2 Simple/Komplit: menyumbat lumen total
1.2.3 Strangulasi: Simple dengan jepitan vasa 6
2. Ileus Neurogenik
2.1 Adinamik : Ileus Paralitik
2.2 Dinamik : Ileus Spastik
3. Ileus Vaskuler : Intestinal ischemia 6
C. Etiologi
1. Ileus Obstruktif 2 3 4 6 10
a. Hernia Inkarserata
b. Non Hernia
i. Penyempitan lumen usus
§ Isi Lumen : Benda asing, skibala, ascariasis.
§ Dinding Usus : stenosis (radang kronik), keganasan.
§ Ekstra lumen : Tumor intraabdomen.
ii. Adhesi
iii. Invaginasi 8
iv. Volvulus 7 9
v. Malformasi Usus
2. Ileus Paralitik 5 10 11
a. Pembedahan Abdomen
b. Trauma abdomen
c. Infeksi: peritonitis, appendicitis, diverticulitis
d. Pneumonia
e. Sepsis
f. Serangan Jantung
g. Ketidakseimbangan elektrolit, khususnya natrium
h. Kelainan metabolik yang mempengaruhi fungsi otot
i. Obat-obatan: Narkotika, Antihipertensi
j. Mesenteric ischemia 5 6 11
D. Patofisiologi
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. 12
Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus dapat dilihat pada Gambar-2.1. Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari10, tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok—hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia. 12
Gambar-2.1. Patofisiologi Obstruksi Usus 12
clip_image001
Obstruksi Mekanik Simple.
Pada obstruksi simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi udema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian. 4
Obstruksi Strangulata.
Pada obstruksi strangulata, kematian jaringan usus umumnya dihubungkan dengan hernia inkarserata, volvulus, intussusepsi, dan oklusi vaskuler. Strangulasi biasanya berawal dari obstruksi vena, yang kemudian diikuti oleh oklusi arteri, menyebabkan iskemia yang cepat pada dinding usus. Usus menjadi udema dan nekrosis, memacu usus menjadi gangrene dan perforasi. 4
A. Diagnosis
1. Subyektif -Anamnesis
Gejala Utama: 13
§ Nyeri-Kolik
o Obstruksi usus halus : kolik dirasakan disekitar umbilikus
o Obstruksi kolon : kolik dirasakan disekitar suprapubik.
§ Muntah
o Stenosis Pilorus : Encer dan asam
o Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan
o Obstruksi kolon : onset muntah lama.
§ Perut Kembung (distensi)
§ Konstipasi
o Tidak ada defekasi
o Tidak ada flatus
Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat kembali menandakan adanya hernia inkarserata. Invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar berupa lendir dan darah. Pada ileus paralitik e.c. peritonitis dapat diketahui riwayat nyeri perut kanan bawah yang menetap. Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada adanya adhesi usus.2 Onset keluhan yang berlangsung cepat dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang lambat dapat menjurus kepada ileus letak rendah.2 3
2. Obyektif-Pemeriksaan Fisik
A. Strangulasi
Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti: 13
§ Takikardia
§ Pireksia (demam)
§ Lokal tenderness dan guarding
§ Rebound tenderness
§ Nyeri lokal
§ Hilangnya suara usus lokal
Untuk mengetahui secara pasti hanya dengan laparotomi. 4
B. Obstruksi
§ Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya.2 3 7 8
§ Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.13 15
§ Perkusi
Hipertimpani
§ Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia.
§ Rectal Toucher
- Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
- Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma
- Feses yang mengeras : skibala
- Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
- Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
- Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis 2 3
§ Radiologi
Foto Polos:
Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga dan air-fluid level. Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus.
C. Paralitik
Pada ileus paralitik ditegakkan dengan auskultasi abdomen berupa silent abdomen yaitu bising usus menghilang. Pada gambaran foto polos abdomen didapatkan pelebaran udara usus halus atau besar tanpa air-fluid level. 5
Tabel-2.1. Perbandingan Klinis bermacam-macam ileus.15
Macam ileus
Nyeri Usus
Distensi
Muntah borborigmi
Bising usus
Ketegangan abdomen
Obstruksi simple tinggi
++
(kolik)
+
+++
Meningkat
-
Obstruksi simple rendah
+++
(Kolik)
+++
+
Lambat, fekal
Meningkat
-
Obstruksi strangulasi
++++
(terus-menerus, terlokalisir)
++
+++
Tak tentu
biasanya meningkat
+
Paralitik
+
++++
+
Menurun
-
Oklusi vaskuler
+++++
+++
+++
Menurun
+
A. Penanganan Ileus
1. Konservatif
§ Penderita dirawat di rumah sakit.
§ Penderita dipuasakan
§ Kontrol status airway, breathing and circulation.
§ Dekompresi dengan nasogastric tube.
§ Intravenous fluids and electrolyte
§ Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
§ Lavement jika ileus obstruksi, dan kontraindikasi ileus paralitik.
2. Farmakologis 4
§ Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
§ Analgesik apabila nyeri.
3. Operatif 10 14
§ Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan peritonitis.
§ Obstruksi usus dengan prioritas tinggi adalah strangulasi, volvulus, dan jenis obstruksi kolon.
§ Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastric untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture usus.
§ Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui laparotomi.
o Lisis pita untuk band
o Herniorepair untuk hernia inkarserata
o Pintas usus : ileostomi, kolostomi.
o Reseksi usus dengan anastomosis
o Diversi stoma dengan atau tanpa reseksi.
B. Komplikasi 2 3
§ Nekrosis usus
§ Perforasi usus
§ Sepsis
§ Syok-dehidrasi
§ Abses
§ Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi
§ Pneumonia aspirasi dari proses muntah
§ Gangguan elektrolit
§ Meninggal
C. Prognosis
§ Saat operasi, prognosis tergantung kondisi klinik pasien sebelumnya.
§ Setelah pembedahan dekompresi, prognosisnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya.2 3

DAFTAR PUSTAKA
  1. Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 181-192.
  1. Fiedberg, B. and Antillon, M.: Small-Bowel Obstruction. Editor: Vargas, J., Windle, W.L., Li, B.U.K., Schwarz, S., and Altschuler, S. http://www.emedicine.com. Last Updated, June 29, 2004.
  1. Basson, M.D.: Colonic Obstruction. Editor: Ochoa, J.B., Talavera, F., Mechaber, A.J., and Katz, J. http://www.emedicine.com. Last Updated, June 14, 2004.
  1. Anonym. Mechanical Intestinal Obstruction. http://www.Merck.com.
  1. Anonym. Ileus. http://www.Merck.com.
  1. Leaper, D.J., Peel, A.L.G., McLatchie, G.R., and Kurup, V.: Gastrointestinal disease. In Oxford handbook of clinical surgery. Editor by McLatchie, G.R., and Leape, D. 2nd Edition. London: Oxford University Press, 2002. p: 214-296.
  1. Hebra, A., and Miller, M.: Intestinal Volvulus. Editor: DuBois, J.J., Konop, R., Li, B.UK., Schwarz, S. and Altschuler, S. http://www.emedicine,com. Last Updated: February 25, 2004.
  1. Chahine, A.A.: Intussusception. Editor: Nazer, H., Windle, M.L., Li, B.UK., Schwarz, S. and Altschuler, S. http://www.emedicine,com. Last Updated: June 10, 2004.
  1. Shukia, P.C.: Volvulus. Editor: DuBois, J.J., Konop, R., Piccoli, D., Schwarz, S. and Altschuler, S. http://www.emedicine.com. Last Updated: May 18, 2005.
  1. Levine, B.A., and Aust, J.B. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar Bedah Sabiston’s essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa: Andrianto, P., dan I.S., Timan. Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC, 1992.
  1. Badash, Michelle. Paralytic Ileus (Adynamic Ileus, Non-mechanical Bowel Obstruction). EBSCO Publishing, 2005.
  1. Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC, 1994.
  1. Browse, Norman, L. An Introduction to the Symptoms and Signs of Surgical Disease. 3rd Edition. London: Arnold, 1997.
  1. Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I. Usus Halus, apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 615-681.
Anonym. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Lab/UPF Ilmu Bedah. Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. Surabaya, 1994
Info lengkap

Neurogenik syok


Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan.1
Setiap keadaan yang mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik karena suplainya yang kurang atau kebutuhannya yang meningkat, menimbulkan tanda-tanda syok.2
Diagnosa adanya syok harus didasarkan pada data-data baik klinis maupun laboratorium yang jelas yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok mempengaruhi kerja organ-organ vital dan penangannya memerlukan pemahanam tentang patofisiologi syok.3
Syok bersifat progresif dan terus memburuk. Lingkaran setan dari kemunduran yang progresif akan mengakibatkan syok jika tidak ditangani segera mungkin.1
Syok neurogenik sebenarnya jarang terjadi. Pada syok neurogenik terdapat penurunan tekanan darah sistemik sebagai akibat terjadinya vasodilatasi perifer dan penurunan curah jantung. Vasodilatasi tersebut terjadi karena menurunnya resistensi perifer yang disebabkan oleh gangguan saraf otonom sedangkan penurunan curah jantung disebabkan oleh bertambahnya pengaruh nervus vagus pada jantung sehingga terjadi bradikardi. 4,5
A. Definisi
Syok (renjatan) adalah kumpulan gejala-gejala yang diakibatkan oleh karena gangguan perfusi jaringan yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi kebutuhannya.2
Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalis sehingga menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada jaringan non vital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak, jantung, paru-paru, dan ginjal).1
Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel.5
Syok juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang mengancam jiwa yang diakibatkan karena tubuh tidak mendapatkan suplai darah yang adekuat yang mengakibatkan kerusakan pada multiorgan jika tidak ditangani segera dan dapat memburuk dengan cepat.6
B. Klasifikasi
Syok secara umum dapat diklasifikasikan dalam 5 kategori etiologi yaitu : 1,2,4,7,8,9
1. Syok Hipovolemik
Syok yang disebabkan karena tubuh :
- Kehilangan darah/syok hemoragik
· Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
· Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
- Kehilangan plasma : luka bakar
- Kehilangan cairan dan elektrolit
· Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
· Internal : asites, obstruksi usus
2. Syok Kardiogenik
Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark Miokard Akut).
3. Syok Distributif
- Syok Septik
Syok yang terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.
- Syok Anafilaktif
Gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilatasi arteriola sehingga venous return menurun.
Misalnya : reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular berbisa
- Syok Neurogenik
Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi sistim saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.
Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok
4. Syok Obtruktif
Ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup dan endnya curah jantung
Misalnya : tamponade kordis, koarktasio aorta, emboli paru, hipertensi pulmoner primer.
C. Patofisiologi
Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling berkaitan yaitu ; jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi perifer meningkat. 4, 6
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu : 5,10
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.
Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang meliputi : 2, 6,10,11
1. Sistem pernafasan : nafas cepat dan dangkal
2. Sistem sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, na-
di cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah menca-
pai 30%.
3. Sistem saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan tidak sadar.
4. Sistem pencernaan : mual, muntah
5. Sistem ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)
6. Sistem kulit/otot : turgor menurun, mata cekung, mukosa lidah kering.
7. Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba.
E. Derajat Syok
Menentukan derajat syok :4
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun).
F. Pemeriksaan1,6,9,11, 12
1. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang mengetahui kejadiannya, cari :
- Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut)
- Riwayat penyakit jantung (sesak nafas)
- Riwayat infeksi (suhu tinggi)
- Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat).
2. Pemeriksaan fisik
- Kulit
Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
- Tekanan darah
Hipotensi dengan tekanan sistolik < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)
- Status jantung
Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba.
- Status respirasi
Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi memburuk)
- Status Mental
Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, sopor sampai koma.
- Fungsi Ginjal
Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
- Fungsi Metabolik
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea
- Sirkulasi
Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik
- Keseimbangan Asam Basa
Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru).
3. Pemeriksaan Penunjang
- Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah.
- Analisa gas darah
- EKG
G. Diagnosis
Kriteria diagnosis :13
1. Penurunan tekanan darah sistolik > 30 mmHg
2. Tanda perfusi jaringan kurang
3. Takikardi, pulsus lemah
H. Diagnosis Banding13
1. Semua jenis syok.
2. Sinkope (pingsan)
3. Histeria
I. Komplikasi6,10,11
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.
J. Penatalaksanaan2,12,13
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi.
Penanganannya meliputi:
1. Umum :
Memperbaiki sistim pernafasan :
- Bebaskan jalan nafas
- Terapi oksigen
- Bantuan nafas
Memperbaiki sistim sirkulasi:
- Pemberian cairan
- Hentikan perdarahan yang terjadi
- Monitor nadi, tekanan darah, perfusi perifer, produksi urin
Menghilangkan atau mengatasi penyebab syok.
2. Khusus :
Obat farmakologik :
- Tergantung penyebab syok
- Vasopresor (kontraindikasi syok hipovolemik)
- Vasodilator

SYOK NEUROGENIK
A. Definisi
Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels).3
Syok neurogenik terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.10
Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif, hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang dalam).10,14
B. Etiologi
Penyebabnya antara lain : 3,4,5
1. Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal).
2. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
3. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal.
4. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
5. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
C. Patofisiologi
Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan, penurunan dalam efektifitas sirkulasi volume plasma sering terjadi dari penurunan venous tone, pengumpulan darah di pembuluh darah vena, kehilangan volume intravaskuler dan intersisial karena peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi ejeksi, dan penurunan kurva fungsi ventrikel.11,16
Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu pada hilangnya tonus simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit.15
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional.5,10
Pada penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik sfingter prekapiler dan menekan tonus venomotor. Pasien dengan nyeri hebat, stress, emosi dan ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak jelas yang menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop.9
D. Manifestasi Klinis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.3,4,14,15
E. Diagnosis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia. 3,4,14,15
F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding syok neurogenik adalah sinkop vasovagal. Keduanya sama-sama menyebabkan hipotensi karena kegagalan pusat pengaturan vasomotor tetapi pada sinkop vasovagal hal ini tidak sampai menyebabkan iskemia jaringan menyeluruh dan menimbulkan gejala syok.1,9 Diagnosis banding yang lain adalah syok distributif yang lain seperti syok septik, syok anafilaksi. Untuk syok yang lain biasanya sulit dibedakan tetapi anamnesis yang cermat dapat membantu menegakkan diagnosis.2,4,7,8
G. Penatalaksanaan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut. 4,9
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.13
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :3,14,15
· Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
· Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
· Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik
· Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.
Obat
Dosis
Cardiac Output
Tekanan Darah
Resistensi Pembuluh Darah Sistemik
Dopamin
2,5-20 mcg/kg/menit
+
+
+
Norepinefrin
0,05-2 mcg/kg/menit
+
++
++
Epinefrin
0,05-2 mcg/kg/menit
++
++
+
Fenilefrin
2-10 mcg/kg/menit
-
++
++
Dobutamin
2,5-10 mcg/kg/menit
+
+/-
-
KESIMPULAN
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan sindrom klinis yang kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels).1,3
Penyebab syok neurogenik antara lain: Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal), rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang, rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal/lumbal, trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom), suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.3,4,5
Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi jaringan dalam syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan resistensi pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). 11,16
Diagnosis syok kardiogenik Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau paraplegia. 3,4,14,15
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.4,
Sumber info

Penatalaksanaan anestesi pada nefrektomi


Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh. Ginjal memiliki berbagai macam fungsi. Fungsi utamanya adalah filtrasi plasma dan eksresi produk sisa, mempertahankan homestasis air, osmolalitas, elektrolit dan asam basa. Ginjal mensekresi renin yang berperan pada pengaturan tekanan darah dan keseimbangan cairan, dan juga mensekresi eritropoietin. Ginjal berperan besar dalam eksresi berbagai macam obat-obatan1.
Nephrektomi adalah pembedahan untuk mengangkat ginjal. Ginjal merupakan organ yang penting untuk kehidupan, maka nephrektomi dilakukan sesuai dengan indikasi2. Indikasi untuk dilakukan nephrektomi adalah kanker ginjal, trauma berat ginjal hydronephrosis, infeksi kronik, penyakit ginjal polikistik, hipertensi ginjal dan kalkulus3.
Nephrektomi dapat hanya mengangkat sebagian kecil dari ginjal atau bahkan bisa juga mengangkat ginjal dengan jaringan sekitarnya. Pada nephrektomi parsial hanya bagian ginjal yang mengalami infeksi saja yang diangkat. Pada nephrektomi radikal ginjal diangkat beserta bagian ureter, kelenjar adrenal dan jaringan lemak yang mengelilingi ginjal. Nephrektomi simpel dilakukan untuk tujuan transplantasi dengan mengangkat ginjal dan ureter3.
Anastesiologi adalah ilmu kedokteran yang awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi ini berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Definisi yang ditegakkan oleh oleh The American Board of Anesthesiology pada tahun 1989 ialah mencakup semua kegiatan profesi atau praktek yang meliputi hal-hal berikut:
1. Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk anastesi4.
2. Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostik terapeutik4.
3. Memantau dan memperbaiki homeostasis pasien perioperatif dan pada pasien dalam keadaan kritis4.
4. Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri4.
5. Mengelola dan mengajarkan resusitasi jantung paru4.
6. Membuat evaluasi fungsi pernapasan dan mengobati gangguan pernapasan4.
Tujuan tersebut tentunya dapat diterapkan pada setiap tindakan yang memelukan anastesi, termasuk juga pada tindakan pembedahan untuk operasi nephrektomi.
A. Klasifikasi
Tergantung pada indikasi nephrektomi, sebagian atau seluruh bagian dari ginjal atau keduanya akan diangkat:
  1. Nephrektomi parsial, sebagian dari ginjal diangkat.
  2. Nephrektomi simpel, seluruh bagian dari satu ginjal diambil5. Nephrektomi simpel dilakukan pada pasien dengan kerusakan ginjal irreversibel yang disebabkan oleh infeksi kronik, obstruksi, penyakit kalkulus atau trauma berat. Selain itu juga indikasi pada hipertensi renovaskular yang diakibatkan oleh penyakit arteri renalis tak terkoreksi atau kerusakan unilateral parenkim karena nephrosklerosis, pyelonephritis, refluks dysplasia atau displasia kongenital ginjal6.
  3. Nephrektomi radikal, semua bagian dari salah satu ginjal diambil bersama-sama dengan kelenjar adrenalnya dan nodi limphatika5. Nephrektomi radikal merupakan terapi pilihan pada pasien dengan karsinoma sel renal. Juga indikasi pada pasien dengan metastase, sebagai bagian protokol imunoterapi atau sebagai prosedur paliative pada kasus nyeri dan perdarahan6.
  4. Nephrektomi bilateral, kedua ginjal diangkat5.
B. Indikasi
  1. Ginjal dengan tumor ganas. Biasanya memerlukan radikal nephrektomi6.
  2. Ginjal rusak karena infeksi, batu, obstruksi aliran urine dan kista6.
  3. Pasien dengan hipertensi berat disebabkan oleh stenosis arteri renalis. Pada kondisi ini gangguan pada arteri menyebabkan kerusakan pada salah satu ginjal6.
  4. Trauma berat, seperti kecelakaan mobil6.
  5. Seorang donor yang telah menyetujui untuk mendonorkan salah satu ginjalnya untuk transplantasinya6.
  6. Ginjal transplantasinya ditolak oleh tubuh resipien dan tidak berfungsi5.
C. Jenis operasi
1. Open nephrektomi
Pada open nephrektomi konvensional, ahli bedah mengambil ginjal melalui insisi standar dengan panjang 8-12 inchi. Bila memungkinkan, insisi tersebut dibuat di bagian pinggang untuk memberikan akses ahli bedah terhadap ginjal sehingga kemungkinan untuk mengganggu organ lain minimal. Akan tetapi, insisi ini tergantung indikasi berdasarkan kesehatan pasien itu sendiri, insisi dapat dibuat di depan atau di belakang abdomen5.
2. Laparaskopi nephrektomi
Pada laparaskopi, 4 insisi kecil dibuat didinding abdomen. Dokter menggunakan laparaskopi (suatu pipa dengan kamera didalamya untuk memvisualisasikan bagian tubuh) sebagai panduan instrumen bedah dan untuk melepaskan ginjal5.
image
Open nephrektomi dan laparaskopi dilakukan dengan anatesi umum, sehingga pasien tidak sadar selama operasi ini. Laparaskopi nephrektomi biasanya menyebabkan nyeri yang lebih ringan selama periode recoveri daripada nephrektomi konvensional. Akan tetapi, nephrektomi laporaskopi memerlukan waktu yang lama daripada open nephrektomi dan memerlukan ahli bedah dengan kemampuan laparaskopi. Laparaskopi nephrektomi tidak dilakukan pada pasien dengan scar disekitar ginjal atau pada pasien yang akan dilakukan nephrektomi radikal5.
D. Posisi pasien
Posisi pasien dalam operasi nephrektomi adalah posisi flank. Dilakukan dengan posisi pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak diatas, jadi pada nephrektomi kiri pasien miring ke lateral kanan dengan sisi kiri diatas. Indikasi posisi flank adalah penyakit ginjal inflamasi, kalkuli, abses perinephric, hidronephrosis dan penyakit ginjal kistik,7.
image
E. Tekhnik operasi
1. Nephrektomi simpel
Dilakukan dengan cara menginsisi di pinggang sesuai dengan ginjal yang akan dilakukan nephrektomi, posisi pinggang tersebut letaknya diatas dengan arah membuat sudut tajam. Dengan posisi ini meregangkan pinggang pasien dan membuat ginjal lebih mudah dicapai oleh tim bedah6.
2. Nephrektomi radikal
Prosedurnya mirip dengan nephrektomi simpel, kecuali insisi sering dibuat di abdomen bagian depan dan dapat meluas kearah dada bagin bawah. Insisinya biasanya lebih besar daripada nephrektomi simpel, terutama jika pembedahan itu diperlukan untuk mengeluarkan tumor ginjal besar yang meliputi bagian atas ginjal. Pada nephrektomi radikal limponodi dan kelenjar adrenal sekitarnya diangkat juga bersamaan dengan ginjalnya6.
3. Nephrektomi laparaskopi
Pasien ditempatkan dalam posisi flank dengan posisi batang tubuh 45 derajat lateral dekubitus dan terfiksasi dengan meja operasi8.
E. Komplikasi
Ginjal merupakan organ yang sangat vaskular dan perdarahan merupakan resiko yang nyata dari kondisi ini. Perdarahan dapat terjadi dari arteri renalis, vena kava inferior atau dari arteri aberrant. Resiko lebih tinggi pada terdapatnya proses keganasan atau infeksi dimana ginjal dapat melekat pada struktur lain. Cara untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah seperti cell salvage, hemodilusi normovolemik akut dan obat anti fibronolitik dapat dipakai jika dibutuhkan. Perdarahan sekunder yang terjadi post operasi jarang terjadi, tapi mungkin mengharuskan re-laparatomi untuk mengidentikasi penyebabnya1.
A. Penilaian Preoperatif
Selain penilaian anastesi rutin, perhatian terutama di fokuskan pada fungsi ginjal. Indikator yang terbaik bahwa pasien menderita penyakit ginjal adalah riwayat medik. Pemeriksaan fisik sering hanya minimal saja yang didapatkan. Hipertensi baru nampak setelah penyakit ginjalnya berkembang menjadi lanjut9.
Gagal ginjal kronik sering menyebabkan hipertensi, melalui peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin. Udema disebabkan proteinuria dan hipoalbuminemia atau gagal jantung1.
Urinalisis merupakan pemeriksaan laboratorium yang murah, informatif dan tersedia1. Metode urinalisis ini cukup untuk mengindentifikasi penyakit ginjal jika tidak terdapat riwayat kelainan urogenital9 Hematuria, silinder, bakteri dan leukosit dapat ditemukan pada pemeriksaan urin secara mikroskopik. Berat jenis urin merupakan indeks dari fungsi tubulus ginjal. Kemampuan untuk mengeksresi urin (berat jenis > 1.030) mencerminkan fungsi tubulus yang baik, sedangkan jika osmolalitasnya seperti plasma (berat jenis 1.010) mengindikasikan penyakit ginjal. Proteinuria > 150 mg/ hari abnormal dan mengindikasikan terjadi peningkatan konsentrasi protein plasma. Glykosuria mengindikasikan diabetes melitus1. Jika penyakit ginjal telah nampak, pemeriksaan yang lain untuk memeriksa fungsi ginjal dibutuhkan9.
Hitung darah lengkap dapat menghasilkan anemia (normositik, normokromik) karena terjadi perdarahan yang luas atau pengurangan produksi eritropoetin. Kreatinin plasma dan ureum memberikan informasi yang baik tentang fungsi ginjal. Klearens kreatinin dapat dipakai untuk menentukan Glumerolus filtration rate (GFR).
Klirens Creatinin = u x v/p
Keterangan:
u = Konsentrasi kreatinin urin (mg/ 100mL)
p = Konsentrasi kreatinin plasma (mg/ 100mL)
v = Volume urin (mL/ min)
Tes yang dilakukan biasanya 2 jam, tetapi untuk lebih akurat dilakukan tes 24 jam. Nilai normal 85-125 ml/ menit pada wanita dan 95- 140 ml/ menit pada laki-laki. Klirens1.
Jika terdapat dugaan terdapat gangguan fungsi ginjal, pemeriksaan serum elektrolit dilakukan, tetapi nilai ini tetap normal sampai benar-benar penyakit ginjalnya memberat1.
Pada gagal ginjal berat, pemeriksaan analisa gas darah dapat menghasilkan asidosis metabolik karena adanaya gangguan eksresi asam oleh ginjal1.
Pemeriksaan lain seperti rontgen thorax dan EKG diperlukan tergantung dari symptom yang ditunjukan pasien1
Kondisi pasien seoptimal mungkin diperbaiki sebelum pembedahan. Hipertensi dapat dikontrol dengan pengobatan yang tepat. Infeksi saluran kemih diterapi dengan antibiotik yang tepat1.
Untuk pembedahan elektif terapi besi atau eritropoetin dipakai untuk menaikkan kadar hemoglobin. Pasien dengan gagal ginjal berat dapat terjadi gangguan cairan dan elektrolit. Keadaan ini harus diperbaiki sedapat mungkin, dapat dilakukan dialisis1.
Diabetes mellitus merupakan penyebab yang umum dari gangguan ginjal dan managemen yang tepat harus benar-benar diterapkan pada pasien tersebut1.
Pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi paru6.
B. Efek obat-obat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
Terminasi aksi dari sebagian besar obat-obat anastesi adalah redistribusi dan metabolisme. Biotransformasi dari obat-obat tersebut menghasilkan bentuk inaktif yang larut air dan dikeluarkan lewat urin. Penumpukan zat tersebut karena kegagalan eksresi ginjal tidak berbahaya1.
Beberapa obat-obatan dieliminasi dalam bentuk tanpa mengalami perubahan dalam urin. Pada obat pelumpuh otot non depolarisasi sebagian besar dieksresi oleh ginjal. Terminasi aksi dari dosis tunggal kecil dari obat tersebut adalah dengan redistribusi daripada eksresi. Akan tetapi ketika dosis pemeliharaan digunakan, dosis harus lebih kecil pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal daripada pasien dengan ginjal normal dan interval dosis antara harus ditingkatkan. Monitor klinis fungsi neuromuskular seperti train-of-four nerve stimulator harus digunakan jika tersedia1. Kecuali atracurium dan cisatracurium yang dirusak oleh enzim ester hidrolisis dan oleh non enzim alkaline degradasi (eliminasi Hofmann) menjadi produk yang tidak aktif dan tidak tergantung eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya1.
Suksinilkolin (suxamethonium) di metabolisme oleh pseudokolinesterase dan meskipun tingkat enzim dikurangi pada uremia, nilai jarang rendah yang menyebabkan bloknya memanjang. Pemberian suksinilkolin tidak menyebabkan peningkatan serum potasium yang dapat berbahaya pada pasien dengan gangguan ginjal berat dengan peningkatan potasium. Eksresi ginjal berperan penting dalam eliminasi inhibitor kolinesterasi (misal neostigmin) dan eksresinya terlambat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal1.
Obat-obat lainnya yang dieksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan adalah atrofin dan glycopyrrolat, dosis tunggal tidak menyebabkan gangguan keadaan klinis. Dosis pemeliharaan digoksin harus dikurangi pada gangguan fungsi ginjal dan tingkat darah adalah pas untuk terapi1.
Obat-obat yang berikatan kuat dengan albumin, seperti obat-obat induksi akan dipengaruhi oleh pengurangan kadar albumin pada pasien uremia. Sehingga menghasilkan fraksi bebas dari obat tersebut dan mengurangi dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek anastesi1.
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut. Enflurane dan sevoflurane mengalami biotranformasi menajadi florida inorganik,meskipun kadar dalam plasma yang dihasilkan dibawah kadar nephrotoksis. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan dimetabolisme di hepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis1.
Opioid di metabolisme di hepar. Akan tetapi morpin dan meperidin (petidin) mempunyai metabolit aktif yang dieksresi lewat ginjal dan dapat diakumulasi pada gagal ginkal. Dosis dari kedua obat tersebut jarus dikurangi atau dibatasi1.
C. Obat-obat untuk premedikasi
1. Barbiturat
Kini barbiturat jarang digunakan untuk premedikasi, kecuali phenobarbital yang masih dipakai pada pasien epilepsi anak-anak dan dewasa. Sebanyak 24 persen phenobarbital di eksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan9.
2. Belladonna Alkaloids (beserta substitusinya)
Sekitar 20-50 persen dosis atrofin ditemukan dalam tanpa mengalami perubahan di urin atau dalam bentuk metabolit aktif. Hal yang sama juga ditemukan pada glycopyrrolat. Sehingga dapat terjadi akumulasi obat-obat tersebut pada pasien dengan gagal ginjal, pada dosis tunggal tidak menyebabkan masalah klinis. Skompolamin hanya 1/10 yang ditemukan dalam urin dalam bentuk atrofin . Karena efek terhadap sistem syaraf pusat yang tidak menguntungkan, skopolamin sebaiknya tidak digunakan sebagai pengganti atrofin atau glycopyrrolate saat dosis tinggi atau dosis ulangan obat anti muskarinik diperlukan. Sebagai premedikasi skopolamin memuaskan untuk pasien gagal ginjal9.
3. Senyawa Phenothiazin dan Benzodiazepin
Phenothiazin dan derivat benzodiazepine dimetabolime di hepar sebelum dieksresi. Sehingga, setiap peningkatan nyata durasi atau intensitas aksinya yang berhubungan dengan pemberian adalah karena efek sistemik umum daripada efek spesifik obat tersebut. Kerugian dari derivat phenotiazin adalah blokade alpha adrenergik, sehingga dapat menyebabkan ketidak stabilan kardiovaskular pada pasien yang baru menjalani dialisa yaitu terjadi hipovolemi.9.
4. Opioids
Ikatan protein dengan morfin menurun sekitar 10% pada gagal ginjal. Masalah ini tidak mengakibatkan suatu perubahan penting dalam fraksi bebas morfin, karena biasanya ikatan protein hanya kecil (23-42%) dengan volume distribusi yang besar. Morfin hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar menjadi bentuk inaktif yaitu glukoronida, yang diekstresikan lewat urin.Sehingga pemberian pada pasien dengan gagal ginjal terutama pada dosis analgesia tidak menyebabkan depresi yang memanjang. Meskipun demikian, terdapat laporan depresi respirasi dan kardiovaskular pada pasien dengan gagal ginjal pada pemberian morfin dosis tunggal 8 mg. Distribusi, ikatan protein dan eksresi meperidin mirip dengan morfin. Akumulasi metabolit normeperidin dapat menghasilkan efek eksitasi sistem syaraf pusat yaitu terjadinya konvulsi. Fentanyl juga dimetabolisme dihepar, hanya 7 % dieksresi tanpa mengalami perubahan diurin. Ikatan dengan protein plasma moderat (fraksi bebas, 19 persen) dan volume distribusinya besar. Sehingga fentanyl cocok untuk premedikasi pada pasien dengan gagal ginjal. Farmakokinetik dan farmakodinamik sufentanil dan alfentanil tidak berbeda secara signifikan pada pasien dengan pengurangan fungsi ginjal dibandingkan dengan individu normal9.
D. Obat-obat untuk induksi
Induksi anastesi dapat dengan intravena atau dengan inhalasi1.
1. Obat-obat anastesi inhalasi
Semua obat anestesi inhalasi mengalami biotransformasi sampai taraf tertentu, dengan sebagian besar metabolisme produk non volatil dieksresi oleh ginjal. Akan tetapi, efek reversibel terhadap sistem syaraf pusat dari obat-obatan inhalasi ini tergantung pada eksresi paru, sehingga kegagalan fungsi ginjal tidak akan mempengaruhi respon terhadap obat tersebut9.
Methoxyfluran merupakan obat anastesi yang pada tahun 1960 dan 1970an kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menajadi nephrotoksik florida inorganik dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar flurida dari isoflurana adalah 3-5 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksis9.
Desfluran dan sevofluran, berbada dalam stabilitas molekular dan biotransformasinya. Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan inorganik minmal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC (minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari 1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal9.
Sevoflurane, sangat tidak stabil. Soda lime menyebabkan dekomposisi. Biotranformasinya oleh hepar sama seperti enfluran. Terdapat laporan konsentrasi inorganik plama mencapai kadar nephrotoksik (50 mmol/L) setelah dipapar dengan inhalasi sevofluran. Akan tetapi, tidak ada bukti terjadi perubahan pada fungsi ginjal manusia9.
Anastesi inhalasi menyebabkan depresi reversibel pada fungsi ginjal. GFR, aliran darah ginjal, keluaran urin dan eskresi sodium di urin menurun. Mekanisme dalam pengurangan aliran darah ginjal, mungkin karena faktor neurohormonal (hormon antidiuretik, vasopressin, renin) atau respon neuroendrokrin. Meskipun sebagian besar anastesi inhalasi mengurangi GFE dan eksresi sodium urin, efek pada aliran darah ginjal masih merupakan kontroversi. Hal ini dapat dijelaskan karena perbedaan dari metodologi eksperimental. Data menyatakan bahwa aliran darah ginjal dipelihara oleh halotan, isofluran dan desfluran tetapi diturunkan oleh enfluran dan sevofluran9.
Pasien dengan penyakit ginjal berat kadar hemoglobinnya 6-8 g/ 100mL. Meskipun kapasitas pengangkutan oksigen adekuat pada keadaan tidak teranastesi, shunt intrapulmonal dan pengurangan cardiac output dapat terjadi pada anastesi umum. Sehingga untuk menghidari hipoksemia intra anastesi, di sarankan tidak memberikan konsentrasi tinggi N2O9.
2. Obat-obat anastesi intravena
Efek reversibel terhadap sistem saraf pusat setelah pemberian ultrashort-acting barbiturat, seperti thiopental dan methohexital, terjadi sebagai akibat redististribusi, metabolisme hepar merupakan jalur eliminasi obat-obat tersebut. Thiopental 75-85 persen terikat albumin, konsentrasi tersebut berkurang pada uremia. Karena ikatannya tinggi, pengurangan ikatan dapat menyebabkan pemberian dosis thiopental yang tinggi untuk dapat mencapai reseptor. Thiopental merupakan asam lemah dengan nilai pKa pada nilai fisiologis, asidosis akan terjadi pada keadaan tidak terionisasi, tidak terikat, thiopental aktif. Pada kombinasi bentuk tersebut dapat meningkatkan fraksi bebas thiopental dari 15 persen pada pasien normal menjadi 28 persen pada pasien gagal ginjal. Karena metabolime thiopental tidak mengalami perubahan pada gangguan ginjal, jumlah thiopental untuk anastesi dikurangi9.
Ketamin terikat dengan protein ikatannya kurang bila dibandingkan dengan thiopental dan tampaknya gagal ginjal berpengaruh minimal pada fraksi bebasnya. Redistribusi dan metabolisme hepar bertanggung jawab untuk terminasi efek anastesinya, dengan < 3% obat dieksresi tanpa mengalami perubahan di urin11.
Propofol mengalami biotransformasi cepat di hepar menjadi bentuk inaktif yang dieksresi oleh ginjal. Farmakokinetik tampaknya tidak mengalami perubahan pada pasien dengan gagal ginjal. Induksi standar dengan propofol aman untuk gagal ginjal11.
Kelompok benzodiazepin terikat kuat dengan protein. Gagal ginjal kronik meningkatkan fraksi bebas benzodiazepin dalam plasma, berpotensi meningkatkan efek klinik. Metabolit benzodiazepin tertuntu secara farmakologik aktif dan potensial diakumulasi dengan pemberian dosis ulangan obat induk pada pasien anephrik. Sebagai contoh 60-80 persen midazolam dieksresi dalam bentuk aktif metabolit hydroxy, yang dapat terakumulasi selama pemberian lama infus midazolam pada gagal ginjal11.
E. Obat pelumpuh otot dan antogonisnya
Anastesi umum dengan musle relaksan biasa digunakan pada pembedahan ginjal terbuka atau laparaskopi.
Suksinilkolin telah dipakai pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal tanpa kesulitan. Suksinilkolon dimetabolisme dengan bantuan pseudokolinesterase menghasilkan produk non toksik yaitu asam suksinik dan kolin. Prekusor metabolik dari dua senyawa tersebut adalah suksinilmonokolin di eksresi oleh ginjal. Sehingga pemberian dosis tinggi suksinilkolin karena pemberian panjang perinfus sebaiknya dihindari pada pasien gagal ginjal. Terdapat laporan bahwa pseudokolinesterase dikurangi pada keadaan uremia. Akan tetapi nilainya jarang rendah untuk memperpanjang waktu pemblokan. Hemodialisis dilaporkan tidak mempunyai efek terhadap kadar kolinesterase11.
Pemberian suksinilkolin menyebabkan peningkatan cepat dari konsentrasi potasium serum 0.5 mEq/ L. Peningkatan serum potasium berbahaya pada pasien uremia dengan peningkatan kadar potasium, sehingga penggunaan suksinilkolin adalah tidak dianjurkan kecuali kali pasien menjalani dialisis dalam 24 jam sebelum operasi. Apabila pasien telah menjalani dialisis penggunaan suksinil kolin dilaporkan aman11.
Disposisi pelumpuh otot non depolasisasi telah dipelajari akhir-akhir ini. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, fraksi ekresi dosis tinggi d-tubokurarun (dTc) ditemukan diurin, eksresi dTc terlambat pada pasien gagal ginjal, kliren dikurangi dan distribusi volume tidak berubah. Karena ikatan protein dan sensitivitas neuromuskular juntion terhadap dTc sehingga tetap pada pasien dengan gagal ginjal. Konsekuensi dari keterlambatan eksresi adalah memanjangnya aksi durasi. Tetapi tidak nyata pada pemberian dosis tunggal rendah11.
Farmakokinetik dari metocurin dan gallamin berbeda secara kuantititif daripada kulaitatif dengan dTc. Lebih dari 90 persen dosis injeksi gallamin dieliminasi tanpa mengalami perubahan diurin dalam 24 jam. Sedangkan hanya 43 persen dosisi metocurin dieksresi tanpa mengalami perubahan dalam waktu yang sama. Dosis gallamin ditemukan dalam dosis yang kecil karena redistribusi sehingga secara teori dapat dipakai pada penderita dengan pengurangan fungsi ginjal9.
Sekitar 40 – 50 persen pancuronum dieksresi diurin. Pancurinium memiliki waktu paruh eliminasi akhir panjang pada pasien dengan pengurangan fungsi ginjal, sehingga dalam pemberian harus hati-haru terutama ketika beberapa dosis dibutuhkan9.
Dua pelumpuh otot nondepolarisasi yaitu atracurium dan vecuronium dikenalkan pada praktek klinik tahun 1980an. Atracurium aksinya memanjang pada penurunan fungsi ginjal. Atracurium dan cisatracurium dirusak oleh enzim ester hidrolisis dam oleh degradasi alkalin non enzim (eliminasi Hofman) menjadi bentuk tidak aktif dan tidak tergantung pada eksresi ginjal untuk mengakhiri aksinya. Dapat diprediksi waktu paruh eliminasi akhir dan tanda blok neuromuskular (onset, durasi dan recovery) sama pada pasien normal dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal 9
Farmakokinetik dan farmakodinamik vecuronium pada pasien normal dan ganguan ginjal adalah sekitar 30 persen dosis vecurium dieksresi oleh ginjal sehingga pada pasien dengan gagal ginjal durasi blokade muskular pada pemberian vecurium dapat lebih lama9.
Doxacurium durasi aksinya lebih panjang pada pasien gagal ginjal. Aksi durasi pelumpu otot lainnya seperti pipecuronium bervariasi pada pasien gagal ginjal. Mivacurium bersifat short acting dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Efeknya memanjang sekitar 10 sampai 15 menit pada pasien stadium akhir penyakit ginjal.
Inhibitor kolinesterase yaitu neostigmin, pyridostigmin dan edrophium. Tidak ada perbedaan menonjol diantara ketiga obat tersebut. Eksresi ginjal adalah penting dalam mengeliminasi ketiga obat tersebut. Sekitar 50 persen neostigmin dan 70 persen pyridostigmin dan edrophonium dieksresi dalam urin. Eksresi semua inhibittor kolin esterase lebih lambat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Digoksin merupakan digitalis glikosida yang digunakan pada pasien uremia dan non uremia. Sekitar 72 persen dosis parenteral dieksresi dalam bentuk yang tetap diurin. Sehingga pemberian pada gangguan fungsi ginjal potensial berbahaya dan dosis pemelihaaan harus dikurangi pada penyakit ginjal9..
F. Obat Vasopressor dan Antihipertensi
Pasien dengan penyakit ginjal biasanya hipertensi dan beresiko terjadi ketidak stabilan kardiovaskular selama operasi. Hipertensi dapat menjadi masalah terutama pada nephrektomi bilateral yang dapat menyebabkan hipertensi yang tidak terkontrol1. Lebih dari 90 persen thiazid dan 70 persen furosemid dieksresi oleh ginjal dan durasinya diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal9.
Propranolol hampir seluruhnya dimetabolisme dihepar dan esmolol di biodegradasi oleh estarase di sitosil sel darah merah, sehingga efeknya tidak diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal9.
Obat-obatan kalsium antagonis seperti nifedipin, verapamil dan diltiazem dimetabolisme dihepar dan menghasilkan produk inert, dapat diberikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Metildopa mempunyai durasi panjang disebabkan dieksresi dalam urin tanpa mengalami perubahan, mekanisme aksi metildopa adalah dengan mengurangi kadar sentral dan perifer norepinephrin, berinteraksi dengan obat anastesi sehingga menyebab kan pengurangan MAC. Guantihidin dieksresi hampir sempurna oleh ginjal, sebagian besar dalam bentuk aktif, pemberiannya dapat mengurangi kadar norepinephrin perifer tapi sentral tidak terpengaruh, MAC tidak terpengaruhi juga 9.
Selama anastesi, jika pengurangan tekanan darah diperlukan, beberapa obat dapat dipakai dengan aman. Trimethapan (Arfonad) merupakan obat ganglionic bloking yang diterminasi oleh enzim daripada di eksresi oleh ginjal. Nitrogliserin dapat dipakai karena cepat dimetabolisme dengan kurang dari 1% dieksresi dalam urin dalam bentuk yang tidak berubah. Sodium nitroprusida digunakan sebagai obat hypotensi pada tahun 1920an. Sianida adalah suatu perantara metabolisme sodium nitoprusida dengan thiosianat sebagai produk akhirnya. Mengingat toksisitas sianida sebagai komplikasi terapi sodium nitroprussid telah dijelaskan. Thisianat juga potensial toksik, waktu paruh thiosuanat normalnya lebih dari 4 hari dan memanjang pada gagal ginjal. Hipoksia, nausea, tinnitus, spasme otot, disorientasi dan psycosis telah dilaporkan pada kadar thiosianan melebihi 10 mg/ 100 mL. Sehingga sodium nitroprussid sedikit diperlukan untuk pemberian lama daripada trimethapan atau nitroglycerin. Hydralazin aksinya lebih lambat daripada ketiga obat tadi, tetapi sering dipakai pada pengendalian tekanan darah sesudah operasi. Aksinya diakhiri oleh hidroksilasi dan glukorondiase di hepar, 15 persen diekresi diurin tanpa mengalami perubahan. Eliminasi waktu paruh hidralazine memanjang pada pasien uremia, sehingga pada pemberiannya harus hati-hati9.
Pemberian dosis tunggal intravena labetolol 0,5 mg/ kg, volume distribusi, klirens dan waktu paruh eliminasi sama pada pasien stadium terminal dengan orang normal. Esmolol dimetabolime di sel darah merah yaitu oleh sitosol esterase9.
Jika diperlukan pemberian vasopressor dapat diberikan, obat yang menstimulasi langsung alpha adrenergik seperti phenylephrin efektif. Sayangnya pemberian vasopressor ini menyebabkan pengaruh terhadap sirkulasi ginjal. Meskipun obat-obat beta adrenergik seperti isoproterenol mempertahankan perfusi ginjal dan otak tanpa mengakibatkan vasokontriksi ginjal, tetapi juga meningkatkan irratabilitas myocardial. Sehingga jika memungkinkan adalah dengan mengganti dengan volume darah. Jika tidak adekuat obat stimulasi alpha adrenergik atau dopamin dapat digunakan9.
G. Obat-obat Psikotropik
Inhibitor monoamin oksidase kadang-kadang dipakai pada pasien dengan penyakit ginjal untuk menetralkan depresi mental. Ketidak stabilan kardiovaskular dapat terjadi pada pasien yang diterapi dengan obat-obatan tersebut. Efek obat-obat tersebut pada pasien uremia tidak diketahui9.
Pertimbangan umum untuk managemen nyeri pada nyeri urogenital adalah prinsipnya sama dengan penanggulangan nyeri ditempat lain. Untuk nyeri akut non maligna, managemen medis merupakan pilihan pertama. Pengobaran narkotik dan non narkotik seperti asetaminopen, aspirin dan NSAID lainnya indikasi untuk mengendalikan nyeri akut. Saat pemberian oral tidak memungkinkan, pemberian parenteral narkotik dapat dipakai. Pasien dikontrol dengan anagesi epidural atau infus epidural terus menurus mengahasilkan efek analgesi segmental dan mencegah atelektasik9
Penggunaan narkotik lipofilik versus hydrofilik tergangung pada segmen kateter epidural berada. Penggunaan analgesi intravena merupakan pilihan berikutnya. Meperidn sebaiknya dihindari pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal sebab waktu paruh normeperidin (metabolit meporidin dengan ambang batas kejang rendah dan menginduksi eksitabiltas sistem syaraf pusat) panjang. Hydromorphan merupakan opiat semi sintetik dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal karena tidak adanya metabolit. Efek antiprostaglandin dari NSAID mempengaruhi pengaturan aliran darah ginjal pada pasien. Sehingga pada pasien yang memerlukan NSAID dalam waktu panjang harus dimonitor fungsi ginjalnya9.
Untuk mengendalikan nyeri kronik non maligna dan maligna melalui tekhnik intervensi. Infus terus menurus opiat secara epidural menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam cairan serebrospinal minimal. Sebelum pemasangang cateter epidural, nyeri harus ditangani secara agresif dengan morfin, methadon dan fentanyl transdermal9..
E. Obat untuk pemeliharaan
Obat anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut. Isoflouran, halotan dan terutama desfularan dimetabolisme dihepar sehingga tidak mempunyai efek nephrotoksis1.
F. Monitoring
Monitor sistem kardiovaskular dan respirasi penting karena resiko yang terjadi akibat posisi pasien. Monitoring invasif tekanan darah dan tekanan vena sentral dapat digunakan. Keputusan ini tergantung kondisi preoperatif pasien dan resiko pembedahan1.
Posisi pasien untuk prosedur pembedahan sering merupakan kompromi antara posisi yang dapat ditoleransi pasien, struktural serta phisiologi dan apa yang diperlukan tim pembedahan untuk dapat mengakses target anatomi pembedahan10.
Tubuh memberi respon terhadap perubahan posisi adalah berdasarkan respon terhadap gravitasi. Sebagian besar perubahan yang berhubungan dengan gravitasi adalah pada darah dan distribusinya didalam sistem vena, paru dan arteri. Terdapat efek penting pada mekanik dan perfusi paru yang berhubungan dengan gravitasi9.
Beberapa kondisi khusus selama operasi salah satunya adalah posisi pembedahan dapat menyebabkan kegagalan pertukaran gas karena menurunkan Cardiac output sehingga menyebabkan hipoventilasi pada pasien yang bernafas spontan dan juga dapat mengurangi kapasitas residual fungsional9.
Pada pasien nepherektomi posisi pasiennya adalah posisi Flank. Posisi flank adalah posisi berbaring lateral dimana tungkai yang terletak dibawah di fleksikan dan tungkai yang letak diatas flekstensikan9. Pada pasien dengan nephrektomi kiri, posisi pasien adalah dengan miring ke kanan dengan ekstremitas yang di fleksi lateral pada pinggul adalah kanan.
Jika ekstremitas bawah difleksikan lateral pada pinggul dan membiarkan posisinya dibawah jantung, darah akan terkumpul pada pembuluh darah yang distensi dari tungkai teruntai disebabkan gravitasi menginduksi peningkatan tekanan vena dan akhirnya terjadi stasis vena. Membalut tungkai dan paha dengan pembalut adalah metode yang umum untuk mengatasi penumpukan pada vena. Posisi fleksi pada ekstremitas bawah di lutut dan pinggul dapat secara parsial atau seluruhnya menyumbat aliran darah vena ke vena cava inferior yang disebabkan oleh angulasi pembuluh darah pada ruang poplitea dan ligamentum inguinale atau oleh kompresi paha pada perut yang gemuk10.
Pada posisi ini dapat terjadi penurunan volume hemithorak10 yang terletak dibawah dalam hal ini pada nephrektomi kanan berarti hemithorax kanan yang terletak dibawah. Gravitasi menyebabkan pergeseran struktur mediastinum mendorong dinding dada ke bawah sehingga mengurangi volume paru dependen. Viscera abdomen mendorong diafragma ke arah sisi bawah cephal jika aksis vertebra horizontal10. Posisi ini berakibat pada sistem respirasi. Paru yang dependent (kanan) terjadi penurunan sedang kapasitas residual fungsional dan dapat menyebabkan atelektasis dimana paru non dependan (kiri) dapat terjadi peningkatan kapasitas residual fungsional. Hasil keseluruhannya adalah terjadi peningkatan sedang pada total kapasitas residual fungsional 9. Atelektasis yang terjadi dapat menyebabkan hipoksemia. Dapat terjadi juga pneumothorax sehingga konsekuensinya terhadap respirasi dan hemodinamik selama operasi berlangsung9.
Terdapat juga penurunan kompliance throrak, volume tidal, kapasitas vital Permasalahan tersebut dapat diperburuk jika pada pasien telah ada penyakit gangguan pernapasan sebelumnya . Saturasi oksigen yang rendah selama operasi dapat diatasi dengan meningkatkan fraksi inspirasi oksigen atau dengan menerapkan sejumlah tekanan positif ekspirasi akhir (Positive end expiratory pressure)1.
Ventilasi spontan dapat secara parsial mengkompensasi perangangan diaframa pada hemithorax dependen sebab efisiensi kontraktilitas serabut otot diafragma ditingkatkan. Dasar paru dan zone 3 kongesti vaskular menurunkan komplience sehingga menggangu distribusi gas selama tekanan ventilasi positif. elevated kidney rest berada berlawanan terhadap sisi bawah costae atau panggul, sehingga memperngaruhi pergerakan dari sisi bawah diafragma dan ventilasi dari paru yang dependen10.
Bagian atas hemithorax tertekan lebih ringan dari pada sisi dependen, karena sisi paru atas terletak diatas atrium maka kurang kongesti vaskularnya daripada sisi paru yang bawah. Sebagai hasil, kecuali kalau fleksi kontra lateral meregangkan sisi atas otot pinggul terhadap titik kekakuan dan membatasi penyimpangan dari sisi costa, tekanan ventilasi positif secara langsung lebih memilih daerah paru bagian atas. Kemungkinan terjadi ketidak seimbangan antasi ventilasi-perfusi adalah jelas terutama pada pasien dengan penyakit paru10.
Penurunan tekanan darah tidak umum terjadi ketika ginjal diangkat. Dapat terjadi penekanan dari vena cava inferior. Gangguan pada vena cava hepatic dan pergesereran medisatinum dapat lebih mengurangi venous return dan stroke volume. Pleksus servikal, pleksus brakhilais dan neuropathi peroneal dapat terjadi hal ini dikarenakan terjadi peregangan atau kompresi nervus pada posisi lateral9
“Pematahan” meja operasi dapat mengkakukan atau menekan vena cava inferior, terutama posisi lateral kanan sehingga menyebabkan penurunan venous return dan akhirnya terjadi penurunan cardiac output1.
Gangguan hepatik pada vena cava dan pergeseran mediastinum dapat lebih menurunkan venous return. Observasi yang teliti dilakukan untuk menilai kardiovaskular selama pasien dalam posisi tersebut1.
Neuropathi pleksus servikal, pleksus brakhidal dan nervus peroneal lainnya dapat terjadi pada posisi lateral disebabkan oleh peregangan atau kompresi nervus-nervus tersebut. Harus diperhatikan untuk menghindari peregangan lateral berlebihan pada leher dan kedua bahu sehingga sebaiknya posisinya netral1.
Pasien sebaiknya diletakkan dimeja operasi dengan bantalan dipunggung dan difiksasi untuk meyakinkan bahwa posisi pasien tidak berubah selama pembedahan1.
Pasien dengan stadium terminal penyakit ginjal dengan monitoring tekanan vena sentral dapat membantu dalam menentukan kebutuhan cairan. Akan tetapi akses tekanan vena sentral dapat lebuh sulit pada pasien-pasien yang sebelumnya menjalani saluran dialisis yang disisipkan di vena leher. Panduan dengan ultrasound dapat digunakan jika tersedia. Eksisi massa ginjal yang besar dapat menyebabkan perdarahan banyak dan monitoring infasif pada keadaan ini dianjurkan1
Pembedahan ginjal dapat berjam-jam sehingga perhatian terhadap temperatur pasien harus dilakukan sedapat mungkin. Cairan intravena hangat, . Penutup hangat dan matras hangat dapat dipakai1.
F. Keseimbangan cairan
Puasa dapat menyebabkan pasien menjadi dehidrasi terutama pasien orang tua. Pasien dengan stadium terminal penyakit ginjal yang menjalani dialisis juga kekurangan cairan sebelum operasi. Resusitasi cairan yang tepat diberikan pada pasien dengan tanda-tanda dehidrasi untuk menghindarkan hipotensi pada induksi anastesi. Selain itu penggantian cairan untuk mengkompensasi puasa preoperasi harus diberikan sebelum pembedahan1.
Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitugkan, dapat terjadi kehilangan darah, dan perdarahan dapat juga terjadi sehingga kebutuhan cairan selama operasi menjadi tinggi1.
Kristaloid dipakai untuk pemeliharaan. Cairan yang mengandung potasium dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Koloid dan PRC diberikan bila terjadi perdarahan. Pasien dapat mengalami anemia sebelum operasi sehingga mereka dapat mentoleransi kehilangan darah yang sedikit daripada pada pasien dengan kadar hemoglobin yang tinggi. Produk darah lainnya seperti fresh frozen plasma, cryopresipitat dan platelet dapat diperlukan pada kehilangan darah yang masif1.
Keluaran urin dapat menurun selama pembedahan, parameter ini dapat dipakai untuk menilai penggantian cairan. Keluaran urin post operasi sekitar 0,5-1 ml/ kgBB/ Jam pada fungsi ginjal normal. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal mempunyai masalah dengan keseimbangan cairan. Pasien anuria hanya kehilangan dan pemeliharaan yang digantikan cairannya, dialisis digunakan pada post operasi jika terdapat elemen cairan yang belebihan1.
G. Penatalaksanaan nyeri sesudah operasi
Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah operasi. Analgesi yang bagus penting untuk mobilisasi awal dan mengurangi insidensi komplikasi respirasi sesudah operasi. Infus dengan campuran dosis rendah anastesi lokal dan opioid memberikan pengurangan nyeri yang terbaik, meskipun pemberian secara bolus dapat juga dilakukan. Fentanyl merupakan obat yang cocok untuk pasien dengan gagal ginjal dimana fentanyl dimetabolisme di hepar. Morfin dapat dipakai dengan hati-hari, pengurangan pada dosis dan intervak waktu diantara dua dosis harus dibuat pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (biasanya 0,5 mg bolus dengan interval waktu 10 menit)1.
Pembedahan laparaskopi berkaitan dengan pengurangan kehilangan darah, trauma jaringan yang lebih sedikit, nyeri post operasi yang lebih ringan dan lebih memperpendek masa perawatan di rumah sakit1. Analgesi epidural tidak diperlukan meskipun infiltrasi anastesi loka pada luka saat akhir pembedahan dapat membantu. Pasien dikontrol dengan analgesia, meskipun kebutuhan akan opiat rendah. Pada semua pasien pendekatan multi analgesi dapat dipakai. Sayangnya penggunaan obat analgesik anti inflamasi non steroid kontra indikasi relatif karena memiliki efek nephretoksik1. Sebagian besar pasien yang menjalani laparaskopi memerlukan dosis opiat (morphin atau petidin) untuk malam pertama setelah operasi. Untuk nephrektomi radikan diperlikan 35 mg12.
Kesimpulan
  1. Nephrektomi adalah pembedahan untuk mengangkat ginjal. Ginjal merupakan organ yang penting untuk kehidupan, maka nephrektomi dilakukan sesuai dengan indikasi.
  2. Nephrektomi terbagi atas nephrektopmi parsial, simpel, radikal, bilateral, jenis operasinya terdiria atas open nephrektomi dan laparaskopi nephrektomi, dengan posisi pasien saat saat operasi adalah posisi flank.
  3. Selain penilaian anastesi rutin, perhatian terutama di fokuskan pada fungsi ginjal. Indikator yang terbaik bahwa pasien menderita penyakit ginjal adalah mendapatkannya lewat riwayat medik. Pemeriksaan fisik sering hanya minimal saja yang didapatkan. Unutuk penunjangnya dilakukan pemeriksaan urinalisis, elektrolit, rontgen, EKG dan pemeriksaan fungsi paru sesuai dengan indikasi.
  4. Obat-obatan yang aman untuk premediksi:: skopolamin, morfin, fentanyl,
  5. Obat-obat yang digunakan untuk induksi: enfluran, isofluran, halotan, desfluran, ketamin, propofol,
  6. Obat yang digunakan untuk pelumpuh otot adalah suksinil kolin
  7. Obat vasopressor dan antihipertensi yang digunakan: Propranolol, esmolol, nifedipin, verapamil dan diltiazem, Trimethapan, Nitrogliserin,
  8. Obat-obat psiotropik yang digunakan: obat nonnarkotik dan narkotik. Obat non narkotik adalah asetaminopen, aspirin dan NSAID lainnya, Saat pemberian oral tidak memungkinkan, pemberian parenteral narkotik dapat dipakai.
  9. Pemeliharaan dengan anastesi inhalasi lebih dipilih untuk pemeliharaan anastesi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut yaitu isoflouran, halotan, desfluran
  10. Monitor sistem kardiovaskular dan respirasi penting karena resiko yang terjadi akibat posisi pasien. Posisi pasien nephrektomi adalah posisi flank posisi ini dapat terjadi penurunan kompliance throrak, volume tidal, kapasitas vital, kapasitas residual fungsional.
  11. Resusitasi cairan yang tepat diberikan pada pasien dengan tanda-tanda dehidrasi untuk menghindarkan hipotensi pada induksi anastesi. Pada pemeliharaan cairan selama operasi, kehilangan cairan karena penguapan, pembukaan abdomen (10-30 mL/ kg/ jam) harus diperhitugkan.
  12. Operasi terbuka berhubungan dengan nyeri yang signifikan sesudah operasi. Analgesi yang bagus penting untuk mobilisasi awal dan mengurangi insidensi komplikasi respirasi sesudah operasi.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Hart, E. M., 2006, “ Anaesthesia for Renal Surgery”, University hospitals of Leicester NHS trust, UK, http://www.anaesthesiauk.com/
  2. Martin, P. A. F., 1997, Nephrectomy, http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/transform.jsp?requestURI=/healthatoz/Atoz/ency/nephrectomy.jsp&mode=print
  3. Gallo, H., 2005, Laparoscopic nephrectomy (including nephroureterectomy), National Institute for Clinical Excellence, http://www.nice.org.uk/page.aspx?o=IPG136guidance
  4. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan, M. R., 2002, Fisiologi Ginjal dalam buku Petunjuk praktis Anestesiologi, Cetakan kedua, Bagian anastesiologi dan Terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
  5. Anonim, 2004, Nephrectomy, National Kidney Foundation, http://www.intelihealth.com/IH/ihtPrint/WSIHW000/9339/20754.html?hide=t&k=basePrint
  6. Santucci, R. A., 2004, Nephrectomy, Radical, http://www.emedicine.com
  7. Schwartz, Spencer, S., Galloway, D. F, 1999, Principles of Surgery,
    seventh edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.
  8. Fabrizio, M. D., Ratner, L. E., Montgomery, R. A., Kavoussi, L. R., 1998, Laparoscopic Live Donor Nephrectomy, John Hopkins Medical Institute, http://urology.jhu.edu/
  9. Miller, R. D., 2000, Anesthesia, Fifth edition, Churchil Livingstone
  10. Martin, J. T., Warner, W. A., 1997, Patient Positioning dalam The Lippincoltt-Raven Interactive Anesthesia Library on CD-ROM Version 2.0.
  11. Monk, T. G., Weldon, B. G., 1997, The Renal System and Anesthesia for Urologic Surgery alam The Lippincoltt-Raven Interactive Anesthesia Library on CD-ROM Version 2.0.
  12. Conacher, I. D., Soomro, N. A., Rix, D., 2004, Anaesthesia for laparoscopic urological surgery, British Journal of Anaesthesia 2004 93(6):859-864, http://bja.oxfordjournals.org/
    Sumber info

Popular Posts

Komentar anda

About Me